Kembali lagi di rubrik #momencatatanbackpacker yang membahas momen2 tak terlupakan mimin selama backpackeran. Nah mimin selama backpackeran ini bisa dibilang ga pernah namanya tidur di penginapan, pasti tidur di teman, couchsurfer, numpang rumah penduduk, ataupun tempat umum. Terus mau tau kisahnya mimin dulu gimana sih bisa numpang rumah penduduk? Gini nih ceritanya.
“Permisi Ibu, numpang duduk boleh ya Bu?” tanyaku kepada seorang Ibu di Desa Licin, saat saya sedang mau menanjak ke Kawah Ijen. “Oh boleh, adek mau kemana dek?” tanya Sang Ibu. Saya mendapatkan tanda baik saya ibu menyahut balik, mungkin bisalah saya menumpang tidur di depan warung. “Mau ke Ijen ibu, rencana mau numpang Truk Batu keatas bu, ke Paltuding” kataku.
“Wah ini sudah malam dek. Ga ada lagi truk batu jam segini, besok baru ada.” kata si Ibu. Saya melihat memang sudah tak ada lagi rona matahari yang menemani saya semenjak dari Banyuwangi tadi. Ya, mau tidak mau saya harus bermalam, atau numpang Jeep dengan konsekuensi membayar lebih mahal untuk sampai Paltuding.
Hmmm ibu, kira2 bisa nggak bu, saya mau numpang tidur disini?Maksud saya di depan warung saja bu, ngemper” kataku dengan sedikit gagap. It’s my first trial. Karena saking gugup dan ga enaknya, saya menutupi muka yang agak malu sambil menunduk dan menyeruput mie hangat yang saya pesan sebelumnya.
Wah nggak bisa dek, jangan. Suka banyak anjing tengah malam” katanya. Saya sih gak percaya ada anjing atau nggak. Kalaupun ada bodo amat. Saya cuma mau saya bisa numpang dimanapun tapi barang saya tetap aman. “Kalau mau, di Mesjid saja. Ada mesjid beberapa ratus meter disini. Tapi izin dulu ya, namanya juga tempat ibadah” kata si Ibu. Saya melihat jam tangan saya, sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam. Hm, saya cukup bingung saat itu, saya tidak masalah sih tidur di Mesjid, tapi kadang ga enak karena kalau mesjid di Desa biasanya ramai, dan memang bukan tempat untuk menumpang, berbeda dengan masjid di perkotaan yang relatif lebih sepi dan bisa menumpang untuk istirahat.